Rabu, 15 Mei 2013

Renungan Pagi, Rabu 15 Mei 2013

“Dan mereka berkata kepada gunung-gunung dan kepada batu-batu karang itu : “Runtuhlah menimpa kami dan sembunyikanlah kami terhadap Dia, yang duduk di atas takhta dan terhadap MUKA ANAK DOMBA ITU.  ‘Sebab sudah tiba hari besar murka mereka dan siapakah yang dapat bertahan ?” (Wahyu 6:16,17).

Itulah momen-momen sangat menentukan dalam hidup saya.  Berusia 15 tahun 2 bulan, saya mengikuti sebuah perkemahan remaja.  Tampaknya saya yang tertua dalam kelompok saya, tetapi hanya terpaut beberapa minggu.  Saat regu kami bersiap-siap tidur pada malam pertama di hari Minggu, ada satu hal yang kurang.  Belum ada seorang Pembina yang ditugaskan untuk membina kami.  Pada pukul 2 pagi, sekelompok Pembina dengan perlahan membangunkan saya, membawa saya ke luar kemah, dan memberitahu bahwa panita telah memilih saya sebagai Pembina regu.  Sungguh tugas yang menegangkan ! Usia saya kurang lebih sama dengan anak-anak dalam regu saya, dan mereka akan menganggap bahwa saya hanyalah sebaya mereka !

Tantangan terbesar terjadi beberapa hari kemudian.  Seorang anak berusia 14 tahun mengurung saya di kamar mandi.  Ketika dia menolak membuka pintu atas permintaan saya, lalu saya mendobrak pintunya.  Dengan marah saya menyuruhnya membuka sepatunya lalu berlari 10 kali naik turun jalur berkerikil di bukit terdekat.  Setelah beberapa kali bolak-balik, kakinya lecet-lecet dan berdarah sedikit.  Saya ketakutan saat menyadari bahwa saya telah menjatuhkan hukuman yang terlalu berat.  Tetapi jika saya menarik kembali perintah saya, maka tidak seorang pun dalam regu saya akan menghormati saya.  Tetapi saya turut ambil bagian di dalam hukuman itu, menyelesaikan 10 kali naik turun bukit bersama anak itu.  Minggu itu saya tidak menemui kesulitan dalam regu saya, dan anak yang mengurung saya di kamar mandi itu malah menjadi anak buah saya yang paling setia.

Konsep “murka Anak Domba” seperti istilah yang saling bertentangan.  Bisakah membayangkan seekor “anak domba murka” ?  Anak Domba yang disembelih, tentu saja mewakili salib.  Murka melambangkan ketidakrelaan Allah untuk berkompromi dengan dosa.  Dalam skala yang sangat kecil, pengalaman saya dengan anak-anak di perkemahan mencerminkan persoalan yang Allah hadapi di alam semesta ini.  Meskipun Dia dapat memungkiri otoritas-Nya, itu akan membawa pada kekacauan.  Tetapi sekadar menjadi “Penasihat Ajaib” berarti semua orang melayani Dia dengan rasa takut.

Jadi di salib, Dia bersama kita menanggung konsekuensi dosa.  Dengan melakukannya, Dia telah memenangkan kasih seluruh alam semesta, selain juga penghormatannya.  Dan pada akhirnya, “Anak Domba yang murka” yang tidak bersedia berkompromi dengan dosa, namun demikian sama seperti para pendosa, terbukti sanggup memulihkan alam semesta yang hancur.

Tuhan, aku menghormati integritas-Mu, dan mengasihi-Mu atas pengorbanan-Mu.  Aku ingin seperti Engkau dalam memperlakukan setiap orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar