"ANAK DOMBA YANG TELAH DISEMBELIH ITU LAYAK untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian” (Wahyu 5:12).
Bahwa Yesus menang oleh kematian-Nya tentunya menantang cara kita melakukan banyak hal. Kita memilih menghampiri Allah dari sudut pandang kekuatan. Dan kita berusaha menang dengan mengandalkan talenta kita, bukannya rahmat karunia Allah. Namun demikian, melalui Anak Domba yang telah disembelih, kita belajar bahwa kemenangan sejati didapat melalui pengorbanan dan kelemahan. Pengorbanan Kristus memaksa kita untuk bergantung kepada pembenaran Allah, bukannya kemampuan atau daya upaya kita sendiri. Yesus telah menetapkan teladan untuk kemenangan sejati, dan surga memerintahkan agar kita mengikut Dia.
Kebanyakan penulis sangat melindungi jadwal dan kebebasan pribadi mereka. Namun menjelang akhir hidupnya, Henri Nouwen mendobrak rintangan profesionalisme semacam itu. Dilatih di Belanda sebagai psikolog dan teolog, dia menghabiskan tahun-tahun awal hidupnya dengan berprestasi. Nouwen mengajar di Notre Dame, Yale, dan Harvard. Rata-rata menghasilkan lebih dari satu buku dalam setahun, dia banyak bepergian untuk memberi kuliah. Namun dalam prosesnya, kehidupan rohaninya sendiri mulai kering.
Sepuluh tahun sebelum kematiannya, dia membuat terobosan menjadi seorang imam di sebuah tempat orang-orang cacat di Toronto. Dia tinggal dalam kesederhanaan, dan menemukan ketenangan rohani di tengah masyarakat yang terbuang. Suatu hari Philip Yancey mengunjunginya dan memerhatikan ketika Nouwen melayani perjamuan bagi Adam, seorang pria cacat usia 26 tahun, tak mampu bicara, berjalan, atau berpakaian sendiri. Adam tidak memperlihatkan tanda-tanda dia mengerti, berliur sepanjang upacara, dan beberapa kali mengerang dengan suara nyaring. Nouwen mengakui, dibutuhkan waktu hampir dua jam setiap harinya untuk memandikan dan memakaikan baju pada Adam. Bagi Nouwen, “ketidakefisienan yang kudus” itu telah menjadi ruang doa dan perenungan baginya. Bagi Nouwen tindakannya itu bukan pengorbanan. “Aku tidak mengorbankan apa pun juga,” dia bersikeras, “bukan saya, tapi Adam yang menerima manfaat dari persahabatan kami.”
Pada awalnya memang berat. Tetapi Nouwen telah belajar mengasihi Adam dengan sungguh-sungguh. Di dalam proses, dia mendapati seperti apa pastinya Allah mengasihi kita, secara rohani cacat, terbelakang, respons kita bagi Allah tampaknya seperti erangan dan keluhan. Di wajah Adam, Nouwen belajar bahwa seseorang tidak perlu harus berprestasi untuk dikasihi oleh Allah, seseorang bisa senantiasa mengandalkan kasih-Nya. Nouwen mengikuti jejak Sang Anak Domba kepada kemenangan.47
Tuhan, aku malu saat menyadari betapa aku telah termakan oleh budaya pencapaian dan sukses. Bantu aku untuk melihat orang-orang melalui mata Anak Domba yang telah tersembelih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar