Rabu, 12 Juni 2013

Renungan Pagi, Rabu 12 Juni 2013

“Lalu malaikat yang keempat meniup sangkakalanya dan terpukullah sepertiga dari matahari dan sepertiga dari bulan dan sepertiga dari BINTANG-BINTANG, sehingga sepertiga dari padanya menjadi gelap dan sepertiga dari siang hari tidak terang dan demikian juga malam hari” (Wahyu 8:12).

Ketika saya berumur 10 tahun, saya menghabiskan dua tahun tabungan saya untuk membeli sebuah teleskop.  Saya berpikir sangat hebat rasanya dapat melihat langit dan hal-hal luar biasa seperti cincin Saturnus, kawah di permukaan bulan, dan bulan-bulan planet Jupiter dan awanya yang berwarna warni.  Tetapi hal terbaik yang pernah saya lihat melalui teleskop saya adalah Belantik (Pleiades).  Walalupun awan berkabut di lingkungan daerah saya di luar kota New York, Belantik benar-benar telah mencengangkan saya.

Banyak orang menganggap Belantik sebagai tujuh saudari.  Bila dilihat dengan mata telanjang, Belantik tampak seperti kumpulan enam atau tujuh titik cahaya.  Tetapi pada teleskop saya, Belantik meluas menjadi sekelompok ratusan bintang yang bercahaya seperti perhiasan.  Bintang-bintang terlihat berwarna kuning, merah, biru dan berbagai macam warna, seperti mahkota kerajaan di istana-istana di Eropa.  Setelah pengalaman ini, saya sangat setuju yang dikatakan pemazmur, “Langit menceritakan kemuliaan Allah” (Mzm. 19:1).  Saat memandang langit melalui teleskop saya, saya menangkap sekilas kebesaran Allah dan bagaimana Dia menyukai hal-hal yang indah.  Bintang-bintang juga menceritakan sifat Allah yang mahabesar, yang tidak terbatas untuk Ayub.  Ketika Ayub ditanya mengapa dia mengalami banyak penderitaan, Allah menunjukkan kepadanya bintang-bintang.  “Dapatkah engkau memberkas ikatan bintang Kartika, dan membuka belenggu bintang Belantik ? Dapatkah Engkau menerbitkan Mintakulburuj pada waktunya, dan memimpin bintang Biduk dengan pengiring pengiringnya ? (Ayb. 38:31-33).

Ayat kita hari ini berbicara tentang sebagian kegelapan yang turun menutupi bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya.  Dalam arti rohani, ini menyoroti suatu masa dalam sejarah saat peristiwa-peristiwa melenyapkan pengetahuan yang sejati tentang Allah.  Seperti halnya sukar untuk membayangkan dunia di mana kita tidak bisa menyaksiakan bintang-bintang lagi, penulis Wahyu dirisaukan oleh pemikiran tentang dunia di mana terang rohani Allah tidak tampak lagi.

Dalam konteks ayat ini kita menemukan Allah yang  terkadang menyembunyikan diri-Nya.  Ketika kita tidak mengaggap serius kehadiran-Nya, ketika tidak mengacuhkan berkat-berkat berlimpah yang Dia berikan bagi kita semua, Dia terkadang menghilangkan diri-Nya dari pandangan kita untuk sesaat.  Dia berharap bahwa kita akan mengingat apa yang telah hilang dan akhirnya menginginkan untuk berjalan kembali bersama-Nya.

Tuhan, jangan sembunyikan diri-Mu dari aku.  Biarlah kemuliaanmu selalu menyelimuti aku.  Aku ingin melihat Engkau sebagai Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar