‘Dan suara yang telah kudengar dari langit itu, berkata
pula kepadaku, katanya: ‘Pergilah, ambillah gulungan kitab yang terbuka di
tangan malaikat, yang berdiri di atas laut dan di atas bumi itu.’ … Lalu aku
mengambil kitab itu dari tangan malaikat itu, dan memakannya: di dalam mulutku
ia terasa manis seperti madu, TETAPI SESUDAH AKU MEMAKANNYA, PERUTKU
PAHIT RASANYA. Maka ia berkata kepadaku: ‘Engkau harus bernubuat lagi
kepada banyak bangsa dan kaum dan bahasa dan raja” (Wahyu 10:8-11).
Yohanes bukan orang terakhir mengalami segala sesuatu
yang berubah menjadi pahit. Strategi Allah terhadapnya tampaknya cara yang
Tuhan sering pakai mempersiapkan orang-orang untuk menjalani suatu bentuk
pelayanan yang berbeda.
Ketika Gavin masih remaja, dia masuk sekolah swasta yang
bergengsi. Teman-teman sekelasnya adalah anak-anak diplomat dan orang-orang
terkaya di Negara. Dia memenangkan banyak beasiswa, dan menerima penghargaan
untuk banyak hal. Dia tidak pernah gagal meraih apapun yang dia inginkan.
Namun demikian, ketika dia menjadi pendeta, keadaan
berbalik seratus delapan puluh derajat. Masalah kesehatan membuatnya ‘tertawan’
di rumah sakit, lalu dia kehilangan pekerjaannya. Gosip menghancurkan
reputasinya. Teman wanitanya memutuskan hubungan. Seakan-akan secara sistematis
Allah mengambil satu per satu segala sesuatu yang selama ini dia andalkan.
Saat keadaan semakin suram, Allah memulihkan kesehatan
dan energinya. Namun beberapa waktu kemudian, ia mendapati dirinya selalu
mengeluh tentang situasinya. Bila dia mengeluh, energinya yang dibarui itu
terhisap habis. Selam dua bulan dia marah kepada Tuhan. “Bapa, ini tidak adil,”
protesnya. ‘Engkau telah mengambil segalanya dariku. Tidak ada lagi yang
tersisa!’ Lalu terngiang suara Roh Kudus: “Ya, itulah tujuanya.”
Itu membuat Gavin terpana. Allah ingin dia tidak memiliki
apa-apa? Lalu dia sadar kalau selama ini dia menjalankan pelayanannya dengan
mengandalkan kekuatannya sendiri. Dia menjadi”pahit” karena Allah telah
menyingkirkan “kekuatannya” agar dia menyadari sangat perlu bergantung pada
Tuhan. Sebaimana Yohanes dalam Wahyu 10, Allah memakai kekecewaannya sebagi
suatu batu loncatan bagi dia melaksanakan bentuk pelayanan yang berbeda.
Saat Gavin sudah kembali melayani. Namun pusat
pelayannannya tidak terletak pada talenta atau kekuatannya, melainkan di dalam
hubungan akrab bersama Allah. Sama seperti Kitab Wahyu menimbulkan
dampak yang jauh lebih besar selam berabad-abad dari yang pernah dibayangkan
Yohanes, demikian pula pekerjaan yang dilakukan bagi Allah dapat melebihi
harapan kita saat kita mengerjakannya sebagi buah hubungan yang intim bersama
Dia.
Tuhan, buat mataku terbuka untuk melihat arah
baru melalui cara apapun yang Engkau pilih. Bantu aku untuk mengenali pekerjaan
tangan-Mu di dalam “pahitnya” pengalaman hidup sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar