“Dan suara yang telah kudengar dari langit itu, berkata
pula kepadaku, katanya : “Pergilah, ambillah gulungan kitab yang terbuka di
tangan malaikat, yang berdiri di atas bumi itu.’ Lalu aku pergi
kepada malaikat itu dan meminta kepadanya, supaya ia memberikan gulungan kitab
itu kepadaku. Katanya kepadaku, ‘Ambillah dan makanlah dia; ia akan
membuat perutmu terasa pahit, tetapi di dalam mulutmu ia akan terasa manis
seperti madu.’ Lalu aku mengambil kitab itu dari tangan malaikat
itu, dan memakannya : di dalam mulutku ia terasa manis seperti madu, tetapi
sesuah aku memakannya, perutku menjadi pahit rasanya” (Wahyu 10:8-10).
Perumpamaan ini mengungkapkan kekecewaan
Yohanes. Dia melihat bahwa kitabnya tidak akan membawa
kesudahan. Namun di zaman akhir, kitabnya akan bernubuat kembali
dengan perantaraan orang-orang lain (Why. 10:11). Dalam konteks Why
10:5-7, pengalaman Yohanes juga merupakan ramalan terhadap kekecewaan lain di
akhir nubuatan Daniel, sekelompok orang yang mengira bahwa akhir zaman akan
tiba namun ternyata tidak. Pengharapan pada kedatangan Yesus
kembali, ternyata menjadi satu pengalaman pahit bagi umat Allah yang setia pada
zaman itu.
Banyak orang percaya bahwa kekecewaan kedua terjadi tahun
1844. Ribuan warga Amerika yakin bahwa Yesus akan datang kembali
pada tanggal 22 Oktober tahun itu. Pada hari itu dengan penuh
semangat, mereka berharap menyaksikan Yesus turun di awan-awan, dikelilingi
semua malaikat kudus. Mereka menanti-nantikan perjumpaan dengan
semua sahabat yang telah terpisah dari mereka oleh maut. Saat
kesusahan dan penderitaan mereka berlalu dan mereka diangkat di angkasa untuk
bertemu Tuhan mereka, maka mereka akan mendiami istana kota emas, Yerusalem
Baru.
Rasakan keprihatinan salah seorang di antara mereka,
Hiram Edson, yang berkata : “Harapan kami terlambung tinggi, dan kami
menantikan kedatangan Tuhan hingga pukul dua belas tengah malam. Hari
berganti dan kekecewaan kami menjadi nyata. Harapan serta ekspektasi
terdalam kami hancur, dan kami kehilangan semangat seperti belum pernah kami
rasakan sebelumnya. Agaknya kehilangan semua sahabat duniawi tidak dapat
dibandingkan dengan ini. Kami meratap, dan meratap, hingga fajar
menyingsing. Saya merenung dalam hati, mengatakan, ‘Pengalaman
Advent saya adalah pengalaman terkaya dan paling ceria di antara semua
pengalaman Kristen saya. Jika ini terbukti gagal, apa artinya
pengalaman-pengalaman Kirsten yang lain ? Apakah tidak ada Tuhan,
tidak ada surga, tidak ada kota emas, tidak ada Firdaus ? Apakah ini suatu
dongeng yang dikarang dengan licik?’ Dengan demikian, ada yang bisa
kami tangisi dan ratapi, seandainya harapan terdalam kami telah lenyap. Dan
sebagaimana yang saya katakan, kami menangis hingga fajar menyingsing.
Tuhan, tolong aku menghadapi kekecewaan setiap hari,
namun Engkau telah mengetahui itu sebelumnya serta menyediakan jalan keluar
bagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar